HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Ismawati Septiningsih,SH,MH

Abstract


Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang–undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Sedangkan ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Harta waris adalah
hal – hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah hak – hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa: aktiva (sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta); dan passiva (sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya).
Di dalam sitem pembagian waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak termasuk di dalam ahli waris golongan pertama. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedua, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil sebagai ahli waris yang mendapat bagian warisan dari pewaris.
Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas: anak yang disahkan yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri; sedangkan anak yang diakui yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 / PUU - VIII / 2010 Pasal 43 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan bentuk perlindungan terhadap anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Tidak hanya sah hubungan sipil anak dengan ayah kandungnya tetapi juga menyediakan kepastian memastikan kebutuhan dan kepentingan anak-anak di luar pernikahan.


Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.